Wednesday, July 18, 2007

Kiai Bejo, Kiai Bejo, Kiai Hoki

Ada kesombongan orang berkuasa. Ada kesombongan orang kaya. Ada kesombongan orang pandai. Juga ada kesombongan orang saleh.

Kita awali dengan suatu identifikasi elementer. Semua orang adalah rakyat, tapi kalau ada penguasa, maka yang kita maksud dengan rakyat tentulah mereka yang dikuasai. Teruskan: rakyat adalah yang miskin, rakyat adalah yang bodoh, dan rakyat adalah yang selalu belum saleh.

Identifikasi yang lebih ke tingkat praksis: selalu rakyat adalah pihak yang diatur oleh pihak yang berkuasa. Kenyataan ini punya peluang sangat besar untuk bertentangan dengan asas hakiki demokrasi, serta sangat mencurigakan dipandang dari rasionalitas dan proporsi managemen kenegaraan dan kebangsaan. Seorang Polisi bisa terjebak untuk menganggap dirinya adalah penggenggam hukum, dan rakyat adalah wilayah terapan hukum.

Kemudian konteks kesombongan orang kaya: dalam wacana pembangunan di hampir semua kalangan, selalu rakyat adalah pihak yang disebut harus dan sedang diberdayakan dari kelemahan ekonomi, dientaskan dari kemiskinan, dan diselamatkan dari keterpurukan.

Pandangan ini sangat laknat terhadap kenyataan bahwa sesungguhnya rakyat adalah pemilik kekayaan sangat melimpah dari tanah rahmat Tuhan Republik Indonesia, namun kekayaan rakyat itu dijadikan langganan perampokan oleh setiap penguasa. Dan setiap penguasa itu selalu tidak tahu diri berlagak menjadi pahlawan yang akan melakukan perubahan dari kondisi miskin rakyat menuju tidak miskin.

Menurut parameter teknis statistik perekonomian dunia rakyat Indonesia memang rata-rata miskin, namun kenyataannya rakyat adalah pengupaya ekonomi yang luar biasa di bawah atmosfir kejahatan negaranya, sehingga upaya-upaya berekonomi kerakyatan itulah yang berjasa mempertahankan negeri ini dari kebangkrutan total.

Kegiatan utama kebanyakan pejabat adalah mengacaukan stabilitas kesejahteraan rakyat, mentikusi administrasi keuangan negara milik rakyat, mencuri dengan berjamaah dan dengan modus-modus yang makin tidak kasat mata. Namun "ubet" ekonomi rakyat, "budaya kakillima" yang cair dan longgar, menciptakan semacam "pernapasan dalam" yang membuat rakyat terus survive meskipun hampir tak ada supply udara dari negara.

Puluhan kali, bahkan mungkin ratusan atau ribuan kali, para penjahat penunggang negara melakukan penipuan, penilapan dan pencurian besar-besaran atas harta rakyat yang diamanatkan managemennya kepada negara. Namun ribuan kali pula rakyat sukses mempertahankan diri mereka dari kebangjrutan total.

Meskipun demikian siapapun saja yang sedang berpamrih ingin berkuasa dan ketika kemudian benar-benar berkuasa: selalu dengan kemantapan dan keangkuhan yang luar biasa, menyatakan akan dan sedang menyelamatkan rakyat dari kebangkrutan.

Kemudian konteks kesombongan orang pandai. Tak ada subyek yang lebih nyata yang selalu diasosiasikan sebagai golongan penyandang kebodohan, melebihi rakyat. Rakyat adalah orang bodoh, karena setiap kali orang menjadi pandai, ia menjumpai dirinya bukan rakyat lagi.

Hampir setiap orang yang diam-diam menggolongkan dirinya sebagai orang pandai, merancang dirinya untuk melakukan pemandaian atas rakyat. Pejabat memberi penerangan terhadap kegelapan dan kebodohan rakyat. Calon-calon sarjana mengajari rakyat selama kuliah kerja nyata. Kaum intelektual menyebar wacana-wacana untuk mendobrak kesempitan wawasan rakyat, Duta-duta informasi dan komunikasi menabur ilmu dan pengetahuan agar rakyat melek dunia.

Bahkan mahasiswa masuk kuliah hari pertama bisa terjebak oleh anggapan diam-diam di dalam dirinya bahwa mulai hari itu ia melangkah meninggalkan kebodohan rakyat yang kemarin ia masih menjadi bagian darinya. Kapan ada rezim tumbang, harus mahasiswa yang direkognasi sebagai pelaku utamanya. Sebab "agent of change" mustahil pelakunya adalah rakyat.

Dan akhirnya yang paling khianat, yang paling menyakitkan hati, yang mungkin Tuhanpun tidak rela: adalah tradisi kesombongan orang saleh.

Rakyat dikasih pengajian tiap hari seakan-akan rakyatlah yang paling jahat hatinya dan paling kotor hidupnya. Malam rakyat diulamai, pagi mereka dipasturi, siang mereka dipendetai, sore mereka dibegawani. Rakyat dibimbing agar beriman seakan-akan rakyat adalah siswa-siswi taman kanak-kanak. Rakyat disantuni, diajari bagaimana menata kalbu, padahal tak ada pakar penanggung derita yang tingkat keahlian dan kemampuannya melebihi rakyat.

Kalau Quran menyebut "berimanlah kepada Allah", yang dituju adalah rakyat, bukan ustadz atau ulama. "Wahai orang-orang kafir" -- itu kemungkinan besar rakyat, mustahil Pak Kiainya. "Dekatkanlah dirimu kepada orang saleh" -- maksud Tuhan tentu hendaknya rakyat mendekat-dekat pada Ustadz, bukan Ustadz mendekat-dekat dan belajar kepada ummat.

Bahkan dai, muballigh, ustadz, ulama, dijunjung-junjung -- namun dengan parameter industri dan ukuran feodalisme, untuk akhirnya ditertawakan dan ditinggalkan oleh rakyat yang memiliki feeling dan jenis pengetahuan sendiri tentang siapa ulama siapa pencoleng, siapa ustadz siapa bakul pasar.

Ada semacam feodalisme naluriah dalam psikologi kita, mungkin karena tak pernah sembuh dari trauma penjajahan fisik dan nilai yang tak pernah usai dalam kehidupan kebangsaan dan kemanusiaan kita. Kalau mendengar kata "rakyat", tanpa sengaja langsung terdapat perasaan look down dan menemukan yang bernama rakyat itu berada di dasar jurang dari peta nilai yang kita kenal tentang kemanusiaan dan kebudayaan.

Saya menduga naluri feodalisme, kelas dan 'kasta' itu tidak menjadi kikis misalnya oleh pengalaman intelektual atau kesadaran demokrasi atau egaliterianisme. Misalnya, rakyat "yang paling rakyat" adalah pembantu rumahtangga. Tidak sedikit contoh bagaimana seorang profesor doktor, pejabat tinggi atau ulama -- memperlakukan pembantu rumah benar-benar sebagai 'pembantu rumah tangga' yang hampir berkonsep mirip perbudakan. Rumahtangga awam bisa terbukti bersikap lebih egaliter, santai dan demokratis kepada pembantu rumahtangga.

Salah satu latar belakangnya mungkin karena peningkatan pendidikan masih tidak mandiri dari stratifikasi kelas budaya. Makin tinggi tingkat pendidikan seseorang makin menumbuhkan perasaan lebih unggul dan lebih tinggi derajatnya sebagai manusia. Dunia pendidikan tidak punya konsern mendasar terhadap nilai kedewasaan sosial, kerendahan hati kemanusiaan, kematangan jiwa atau demokrasi kebudayaan.

Karena kecurangan feodal juga kemudian: TKI-TKW, umpamanya, "rakyat yang paling rakyat" lainnya, kita pandang sebagai faktor noda dan kehinaan sebagai bangsa. TKW kita jadikan sukucadang utama kalimat penghinaan atas diri kita sendiri. Kita nyeletuk dengan hati yang merasa nyaman dan puas: Negeri lain mengekspor produk-produk teknologi bergengsi peradaban tinggi, sementara negara kita mengekspor TKI-TKW.

Dan kita tidak melakukan apapun yang lain kecuali menghina dan merendahkan TKI-TKW, anak-anak kita sendiri. Tidak menolong mereka, tidak membela mereka dalam kasus-kasus mengerikan yang menimpa mereka -- sebuah LSM di Jakarta melaporkan sekurang-kurangnya ada 3 juta kasus TKI-TKW kita di luar negeri tanpa satupun pernah dibereskan oleh pihak yang berkewajiban dan digaji untuk pekerjaan dan upah seumur hidup yang antara lain bertugas melingkupi penanganan nasib TKI-TKW.

Pekerjaan kita hanya menghina mereka sambil pada saat bersamaan memanfaatkan mereka di rumahtangga kita masing-masing. Kehidupan sehari-hari rumahtangga kita sangat tergantung pada mereka, upah yang kita bayarkan kepada mereka adalah jumlah gaji yang tidak pantas untuk penghidupan manusia, plus bonus penghinaan di dalam hati, cara berpikir dan tradisi perilaku budaya kita atas mereka.

Dengan begitu kita adalah serendah-rendahnya dan sehina-hinanya manusia, sehingga karena itu pula maka kita memiliki keperluan untuk menghina mereka. Semakin hina dan rendah jiwa seseorang, semakin tinggi kebutuhannya untuk memperhinakan sesamanya. Memang secara psikologis demikian itulah formula survival kejiwaannya.

Bahkan kalau mereka pulang ke tanah air, sudah kita persiapkan lembaga dan birokrasi yang khusus melakukan dua pekerjaan hina. Pertama, menyiapkan terminal dan gate khusus untuk memperhinakan mereka. Kedua, policy untuk memperhinakan diri kita sendiri dengan cara memeras uang jerih payah mereka bekerja hina bertahun-tahun di negeri orang.

Pemerasan itu berlangsung eskalatif dari tahap ke tahap. resmi maupun liar. Dan puncak kehinaan kita adalah memperlakukan para koruptor keluar masuk bandara sebagai Raja, memperlakukan mahasiswa dan pelajar yang membelanjakan uang ke luar negeri sebagai pahlawan, sementara TKI-TKW yang balik kampung menguras uang dari luar negeri untuk sumbangan besar kepada devisa negara -- justru kita injak-injak martabatnya.

Bangsa yang hina. melahirkan generasi demi generasi hina, memilih dan menjunjung presiden dan menteri-menteri hina, mengutus dan menggaji perwakilan-perwakilan hina, sambil menyusu dan mempekerjakan orang-orang yang dihina, menikmati kerja dan makanan anak-anak terhina itu sambil terus memelihara di hati dan otak hinaan-hinaan atas mereka.

Pada hakekat kenyataan dan kenyataan hakikinya, rakyat adalah Ibu Bapak sejarah yang kita TKITKWkan sepanjang massa. Rakyat adalah TKI-TKW di genggaman tangan dan di bawah injakan kaki para pemegang tongkat sejarah, baik tongkat kekuasaan politik, modal, wacana dan informasi. Rakyat yang ditipu terus menerus. Yang dibodohi dari era ke era. Yang dipecundangi dari periode ke periode. Yang namanya disebut, dikomoditikan, diatasnamakan, oleh setiap yang sedang berkepentingan untuk menguasai mereka, kemudian melupakan dan melecehkan mereka begitu kekuasaan itu tergenggam di tangannya.

Yang tidak pernah digubris hak-hak dasarnya. Yang kemuliaan posisinya dipakai sebagai mahkota kekuasaan, namun dalam praktek pundak mereka ditunggangi dan kepala harkat demokrasi mereka dibenamkan ke bagian bawah rendaman cairan air liur teori-teori dan pidato-pidato demokrasi.

Rakyat yang hanya punya satu kegiatan kenegaraan: yaitu dikempongi oleh kekuasaan, gigi-gigi kekuatan sejarahnya dibikin rampal sehingga mulut kedaulatannya kempong. Rakyat yang bisa dipukuli kapan saja, dikelabuhi pagi hari diakali sore hari, dininabobo siang hari dicuri miliknya malam hari.

Rakyat yang diperhinakan oleh gaya kepemimpinan yang memakai merah darah mereka sebagai gincu. Rakyat yang dibodohi sehingga akhirnya tidak lagi mengenal kebodohan. Rakyat yang terus menerus dan terlalu lama dihina sehingga akhirnya benar-benar menjadi hina tanpa tersisa sedikitpun kesadaran dan pengetahuan bahwa mereka hina.

Jangankan membedakan mana kehinaan mana kemuliaan di dalam kompleksitas kehidupan berbangsa, sedangkan sekedar bermain sepakbola kalau kalah tak tahu kenapa kalah dan kalau menang salah menemukan sebabnya kenapa menang.

Visi, wawasan, ilmu, identifikasi dan pemetaan nilai-nilai dan realitas, telah menjadi suatu jenis senirupa impressionis instan. Kehidupan intelektual yang menjadi muatan utama komunikasi dan informasi sudah mengalami pecahan-pecahan, pengepingan-pengepingan, syndrome of disconnected awareness. Bahkan dalam mengomentari pertandingan tinju, dalam satu ronde kita mengalami pergantian parameter sampai 4-5 kali, saking tidak mendasar dan tidak menentunya prinsip ilmu pertinjuan kita.

Bangsa yang sekaligus mengalami ketersesatan intelektual, politis, kultural, spiritual, bahkan ketersesatan teknis untuk soal-soal yang sangat sederhana. Mencari Tuhan, yang didatangi dukun. Mencari ulama, yang dikejar pedagang. Mencari orang pandai, yang ditunggu pelawak. Mencari soto enak, pergi ke tukang tambal ban. Mencari pemimpin, yang dijunjung bintang film. Mencari bintang, yang diburu meteor. Mencari tokoh, yang disongsong perampok. Plastik diwarnai keemasan, emas dijadikan ganjal almari. Nasi diperlakukan sebagai krupuk, terasi didewakan sebagai makanan utama.

Bangsa yang kehilangan parameter hampir di segala bidang. Bangsa yang memilih langsung presidennya namun tanpa melewati pijakan substansi demokrasi. Bangsa yang ditenggelamkan oleh air bah informasi tiap hari namun semakin tidak mengerti apa yang seharusnya mereka mengerti. Bangsa yang sudah kehilangan ukuran apakah mereka sedang maju atau mundur, apakah mereka sedang dihina ataukah dimuliakan, apakah mereka pandai atau bodoh, apakah mereka menang atau kalah. Bangsa yang peta identifikasi dirinya makin terhapus, sebagai manusia, sebagai rakyat atau bangsa.

Bangsa yang -- sesekali -- menjalankan hukum, namun tanpa kesadaran dan hikmah hukum, tanpa kesanggupan untuk mengapresiasi nikmatnya berkebudayaan hukum. Bangsa yang sangat tampak secara wadag sedang menjalankan ajaran Agama, namun hampir tidak terdapat pada perilakunya dialektika berpikir Agama, tidak ada kausalitas mendasar antara input dan output nilai Agama. Bahkan terdapat diskoneksi ekstrem antara praksis kehidupan beragama dengan hakekat Tuhan.

Yang paling beruntung dalam kehidupan sepanjang ada sejarah ummat manusia adalah pemerintah Indonesia. Karena semakin hari rakyatnya semakin tidak paham apakah pemerintahnya berhasil atau gagal. Semakin tidak memiliki kepekaan dan sasmita apakah mereka dicintai atau tidak oleh pemerintahnya. Semakin kehilangan ukuran apakah dari pemerintahnya mereka sedang memperoleh kesetiaan dan semangat pengabdian, ataukah pengkhianatan dan proses-proses penghancuran.

Sungguh siapa saja yang duduk dalam struktur pemerintahan negeri ini adalah "Kiai Bejo", "Kiai Untung" atau "Kiai Hoki". Orang yang mendapatkan keuntungan meskipun tanpa bekerja. Salah satu pameo membuat rumus: orang bodoh kalah oleh orang pandai, orang pandai kalah oleh orang berkuasa, orang berkuasa kalah oleh orang kaya, orang kaya kalah oleh orang "bejo".

Setiap pemerintah Indonesia tidak terlibat dalam konstelasi pameo itu, sebab mereka sekaligus pandai, berkuasa, kaya dan "bejo".(Emha Ainun Najib)

Related Posts by Categories



No comments: