Ada perilaku, akhlak dan sikap hidup seseorang yang 
            Allah menganggap bahwa orang itu layak dianugerahi hidayah. 
            Sebaliknya ada manusia dengan cara berpikir, pola sikap dan langkah 
            perilaku yang membuat Allah menyesatkannya. Yang disesatkan oleh 
            Allah mungkin bisa tak hanya seseorang, bisa juga sebuah keluarga, 
            suatu masyarakat atau bangsa, karena masing-masing berada di dalam 
            lingkar logika tanggung jawab tertentu atas kehidupan mereka, 
            individu atau kolektif.
Jadi ada fenomena hidayah: Allah memberi 
            petunjuk, menyikapi baik-baik terhadap makhluk-Nya. Saya 
            mengkategorikan ini opsi pertama. Ada juga fenomena 
            idzlal: Allah menyesatkan pihak yang menurut Allah pantasnya 
            memang hanya disesatkan. Khotamallohu 'ala qulubihim wa 'ala 
            sam’ihim ghisyawah, walahum 'adzabun 'adhim. Allah resmi menutup 
            hati mereka, menyumpal pendengaran mereka, sehingga yang mereka 
            peroleh sesudah peresmian itu adalah siksaan, stress, nafsu yang tak 
            terkendali namun tak kesampaian. Mulutnya teriak-teriak, dan kalau 
            mulutnya lelah maka hatinya yang terus teriak-teriak dalam keadaan 
            bangun maupun tidur. Ia melakukan apapun saja yang dianggap akan 
            memuaskan hatinya, namun tak pernah tercapai. Sebab utamanya adalah 
            karena ia tidak memiliki pendengaran atas apapun saja kecuali atas 
            suara nafsu dan egoismenya sendiri. 
Kalau anda dan saya adalah orang dengan kategori ini, 
            maka siapapun tak bisa menolong kita. Tetapi kalau ada orang lain 
            yang ikut kita, turut menjadi asap dan terjebak oleh nafsu dan 
            ketulian kita, maka semoga ada orang yang dikehendaki Allah 
            memisahkan orang yang terjebak itu dari ketulian hidup kita. Orang 
            itu tak perlu masuk neraka di akhierat bersama kita. Orang itu juga 
            tak perlu menjadi lebih lama sengsara, kebingungan dan putus asa 
            gara-gara mempercayai kita. 
Yang jarang dipikir orang adalah bahwa orang yang 
            ditutup hatinya oleh Allah ini rata-rata tidak mengerti bahwa 
            hatinya ditutup oleh Allah. Ia bahkan merasa dirinyalah yang terbaik 
            dan paling benar. Ia tidak mampu menemukan kebenaran di luar 
            dirinya. Ia hanya mampu mencari kesalahan di luar dirinya. Artinya 
            ia tidak memiliki kesanggupan sedikitpun untuk menemukan kesalahan 
            di dalam dirinya. Kemampuan mentalnya hanya sebatas kenyataan 
            subyektif bahwa dirinya yang benar dan lainnya harus salah. Ia tidak 
            punya kekuatan hati untuk mampu menyebut ada yang benar di luar 
            dirinya. Maka karena kelemahan hati itu, tak ada jalan lain kecuali 
            memfitnah, terus jadi tambah sengsara, terus memfitnah lagi, terus 
            jadi semakin sengsara, terus memfitnah lagi sampai akhirnya kesepian 
            dan mati ngenes. 
Disesatkan oleh Allah, ditulikan telinganya. Jangankan 
            bersyukur: mendengar saja tak mampu. 
Fenomena idzlal, yang memproduk sekian 
            manusia-manusia mudzlal, saya sebut opsi ketiga. Sebab 
            opsi kedua adalah di antara hidayah dengan 
            idzlal, yakni fenomena istidraj. Bahasa Jawa Timurnya 
            digunggung. Bahasa Jawa umum dibombong. Fi 
            qulubihim maradlun fazadahumullahu maradla. Orang yang hobinya 
            memelihara penyakit di dalam hati dan batok kepalanya dan Allah 
            menambahi penyakitnya. 
Tentu ini tak hanya berlangsung dalam kehidupan invidu 
            dan pergaulan sehari-hari. Fenomena ini akan anda jumpai 
            potensialitasnya dalam berbagai kasus, konteks dan skala. Bisa dalam 
            hal kepemimpinan nasional, bisa dalam urusan-urusan kasuistik pada 
            level yang lebih kecil. Kalau anda punya masalah, kemudian yang 
            menemani anda adalah jenis manusia dengan opsi idzlal atau istidraj, 
            maka sangat cepat anda menjadi sama dengan dia. Kemudian orang lain 
            bisa berpikir untuk menerapkan juga kepada anda apa yang Allah 
            lakukan: orang lain itu juga bisa nggunggung atau mbombong anda atau 
            malah menyesatkan anda sekalian. Karena anda telah menjadi 
            manusia poligami: istri pertama anda adalah kesengsaraan, 
            istri kedua namanya kebingungan, istri ketiga namanya keputusasaan. 
            
Istri pertama, Bu Sengsarawati, alias kesengsaraan, 
            hanya bisa diproduksi oleh penanganan masalah yang keliru, managemen 
            yang kontra-produktif, serta langkah tanpa strategi dan taktik alias 
            tanpa siyasah wa kaifiyah. Istri kedua, Bu Roro Bingung, 
            pasti merupakan output dari tidak lengkapnya informasi, dari 
            pengetahuan yang tidak memadai, dari ketidaktahuan alias kebodohan, 
            yang terpelihara dengan subur karena telinga tuli dan hati hanya 
            berisi nafsu. Istri keempat, keputusasaan, bahasa Qurannya Taiasu, 
            jadi namakan saja Bu Taiasu, adalah akumulasi dari dialektika 
            penghancuran: tidak mendengar maka tidak tahu, tidak tahu maka tidak 
            bisa, tidak bisa maka tidak kelakon, tidak kelakon maka marah, 
            karena marah maka penuh nafsu, karena penuh nafsu maka tak bisa 
            mendengar, tidak mendengar maka tidak tahu...dan teruskan mubeng 
            lagu kanak-kanak di dusun-susun: Joko Penthil thela-thelo ayo lo 
            lopis mambu ayo mbu mbukak tenong ayo nong nongko sabrang ayo brang 
            brangkat kaji ayo ji jimat roo ayo jo joko penthiiiiiil 
            thela-thelo.... 
Monggo kalau ada yang ingin dan bertahan menjadi Joko 
            Penthil. Selamat thela-thelo. Mudah-mudahan Allah tidak 
            menganugerahkan opsi keempat: fenomena tark. Allah 
            meninggalkan kita. Kita kabur kanginan. Mending Allah kasih opsi 
            kelima: adzab yang berupa pemusnahan sekalian.sumber: emha
 
 
 
No comments:
Post a Comment