Saturday, February 25, 2012

Joko Penthil dan Manusia Poligami

Barang siapa siapa diberi petunjuk oleh Allah maka tak ada yang bisa menyesatkannya, dan barang siapa disesatkan oleh Allah maka tak ada yang sanggup memberinya petunjuk.
Ada perilaku, akhlak dan sikap hidup seseorang yang Allah menganggap bahwa orang itu layak dianugerahi hidayah. Sebaliknya ada manusia dengan cara berpikir, pola sikap dan langkah perilaku yang membuat Allah menyesatkannya. Yang disesatkan oleh Allah mungkin bisa tak hanya seseorang, bisa juga sebuah keluarga, suatu masyarakat atau bangsa, karena masing-masing berada di dalam lingkar logika tanggung jawab tertentu atas kehidupan mereka, individu atau kolektif.
Jadi ada fenomena hidayah: Allah memberi petunjuk, menyikapi baik-baik terhadap makhluk-Nya. Saya mengkategorikan ini opsi pertama. Ada juga fenomena idzlal: Allah menyesatkan pihak yang menurut Allah pantasnya memang hanya disesatkan. Khotamallohu 'ala qulubihim wa 'ala sam’ihim ghisyawah, walahum 'adzabun 'adhim. Allah resmi menutup hati mereka, menyumpal pendengaran mereka, sehingga yang mereka peroleh sesudah peresmian itu adalah siksaan, stress, nafsu yang tak terkendali namun tak kesampaian. Mulutnya teriak-teriak, dan kalau mulutnya lelah maka hatinya yang terus teriak-teriak dalam keadaan bangun maupun tidur. Ia melakukan apapun saja yang dianggap akan memuaskan hatinya, namun tak pernah tercapai. Sebab utamanya adalah karena ia tidak memiliki pendengaran atas apapun saja kecuali atas suara nafsu dan egoismenya sendiri.
Kalau anda dan saya adalah orang dengan kategori ini, maka siapapun tak bisa menolong kita. Tetapi kalau ada orang lain yang ikut kita, turut menjadi asap dan terjebak oleh nafsu dan ketulian kita, maka semoga ada orang yang dikehendaki Allah memisahkan orang yang terjebak itu dari ketulian hidup kita. Orang itu tak perlu masuk neraka di akhierat bersama kita. Orang itu juga tak perlu menjadi lebih lama sengsara, kebingungan dan putus asa gara-gara mempercayai kita.
Yang jarang dipikir orang adalah bahwa orang yang ditutup hatinya oleh Allah ini rata-rata tidak mengerti bahwa hatinya ditutup oleh Allah. Ia bahkan merasa dirinyalah yang terbaik dan paling benar. Ia tidak mampu menemukan kebenaran di luar dirinya. Ia hanya mampu mencari kesalahan di luar dirinya. Artinya ia tidak memiliki kesanggupan sedikitpun untuk menemukan kesalahan di dalam dirinya. Kemampuan mentalnya hanya sebatas kenyataan subyektif bahwa dirinya yang benar dan lainnya harus salah. Ia tidak punya kekuatan hati untuk mampu menyebut ada yang benar di luar dirinya. Maka karena kelemahan hati itu, tak ada jalan lain kecuali memfitnah, terus jadi tambah sengsara, terus memfitnah lagi, terus jadi semakin sengsara, terus memfitnah lagi sampai akhirnya kesepian dan mati ngenes.
Disesatkan oleh Allah, ditulikan telinganya. Jangankan bersyukur: mendengar saja tak mampu.
Fenomena idzlal, yang memproduk sekian manusia-manusia mudzlal, saya sebut opsi ketiga. Sebab opsi kedua adalah di antara hidayah dengan idzlal, yakni fenomena istidraj. Bahasa Jawa Timurnya digunggung. Bahasa Jawa umum dibombong. Fi qulubihim maradlun fazadahumullahu maradla. Orang yang hobinya memelihara penyakit di dalam hati dan batok kepalanya dan Allah menambahi penyakitnya.
Tentu ini tak hanya berlangsung dalam kehidupan invidu dan pergaulan sehari-hari. Fenomena ini akan anda jumpai potensialitasnya dalam berbagai kasus, konteks dan skala. Bisa dalam hal kepemimpinan nasional, bisa dalam urusan-urusan kasuistik pada level yang lebih kecil. Kalau anda punya masalah, kemudian yang menemani anda adalah jenis manusia dengan opsi idzlal atau istidraj, maka sangat cepat anda menjadi sama dengan dia. Kemudian orang lain bisa berpikir untuk menerapkan juga kepada anda apa yang Allah lakukan: orang lain itu juga bisa nggunggung atau mbombong anda atau malah menyesatkan anda sekalian. Karena anda telah menjadi manusia poligami: istri pertama anda adalah kesengsaraan, istri kedua namanya kebingungan, istri ketiga namanya keputusasaan.
Istri pertama, Bu Sengsarawati, alias kesengsaraan, hanya bisa diproduksi oleh penanganan masalah yang keliru, managemen yang kontra-produktif, serta langkah tanpa strategi dan taktik alias tanpa siyasah wa kaifiyah. Istri kedua, Bu Roro Bingung, pasti merupakan output dari tidak lengkapnya informasi, dari pengetahuan yang tidak memadai, dari ketidaktahuan alias kebodohan, yang terpelihara dengan subur karena telinga tuli dan hati hanya berisi nafsu. Istri keempat, keputusasaan, bahasa Qurannya Taiasu, jadi namakan saja Bu Taiasu, adalah akumulasi dari dialektika penghancuran: tidak mendengar maka tidak tahu, tidak tahu maka tidak bisa, tidak bisa maka tidak kelakon, tidak kelakon maka marah, karena marah maka penuh nafsu, karena penuh nafsu maka tak bisa mendengar, tidak mendengar maka tidak tahu...dan teruskan mubeng lagu kanak-kanak di dusun-susun: Joko Penthil thela-thelo ayo lo lopis mambu ayo mbu mbukak tenong ayo nong nongko sabrang ayo brang brangkat kaji ayo ji jimat roo ayo jo joko penthiiiiiil thela-thelo....
Monggo kalau ada yang ingin dan bertahan menjadi Joko Penthil. Selamat thela-thelo. Mudah-mudahan Allah tidak menganugerahkan opsi keempat: fenomena tark. Allah meninggalkan kita. Kita kabur kanginan. Mending Allah kasih opsi kelima: adzab yang berupa pemusnahan sekalian.
sumber: emha

Related Posts by Categories



No comments: